Sungguh tak ada kata yang bisa
menggambarkan apa yang saya lihat di sini setiap hari. Iya, di Temanggung. Tujuh
kata di atas jelas tidak dapat mendeskripsikannya dengan jelas, tapi paling
tidak sudah mewakili. Sayang saya bukan
pujangga yang luwes dalam menguntai kata, yang bisa menuangkannya dalam syair
nan indah dan mendeklamasikannya dengan gagah. Sayang juga saya buka fotografer yang bisa dengan
lihainya mengabadikan setiap momen-momen berharga yang saya lihat setiap hari.
Sekarang sedang musim kemarau. Apa
yang bisa dilihat? Tentulah berjuta bintang di langit sana. Langit yang cerah memberikan
kesempatan kepada para bintang untuk menampakkan kecantikannya. Bahkan hingga
pagi menjelang. Di langit jingga sebelah timur sana ada dua bintang yang
bertengger hingga sang surya datang, salah satunya Bintang Fajar bukan? Mungkin
di Jakarta atau di belahan dunia yang lain juga demikian, tapi sempatkah kalian
mendongakkan kepala sebentar sekedar untuk mengaguminya sebentar saja. Ahh..kadang
saya pun tidak sempat. Tidak sempat? Bukan. Tak ada ruang yang nyaman. Lagipula
bukankah di kota sana banyak gedung-gedung pencakar langit yang seolah ingin mencapai
bintang di sana dengan segala gemerlap lampunya. Ahh, kalian terlalu
menyilaukan dan mengalahkan bintang-bintang nan indah itu wahai gedung-gedung
kota.
Sisa-sisa semburat jingga pagi
hari dibarengi suara ayam yang mulai bangun, kicau burung, dan dingin yang
menusuk tulang adalah hal-hal yang biasa saya lihat, dengar dan rasakan di pagi
hari. Siang harinya udara masih saja tetap pada suhu yang tidak cukup tinggi,
tapi sengatan mataharinya sungguh tak tertahankan. Panas dingin jadinya. Dan jangan tanya bagaimana dinginnya di malam hari. Selimut
tebal harus senantiasa membungkus tubuh agar bisa terlelap dengan nyaman.
Si kembar Sumbing dan Sindoro
adalah primadona di sini. Sungguh rela sekali bila harus meluangkan waktu untuk
sejenak menatap angkuhnya mereka berdiri di sore nan elok. Di kala lembayung senja
yang dengan sombongnya memamerkan keanggunannya hingga ke kaki-kaki cakrawala. Sungguh
menakjubkan kala kedua penglihatan ini disuguhi suatu kenyataan saat sang surya
harus kembali ke peraduannya di antara kedua gunung kembar.
Sumbing dan Sindoro. Karena merekalah
penduduk Temanggung harus menanggung dingin dan pemandangan yang sungguh hebat
setiap harinya. Dan dari sana jugalah sebagian penduduknya menggantungkan
hidup. Tembakau. Tembakau srintil yang kualitasnya sudah diakui dunia berasal
dari sini. Sawah hijau menghampar di mana-mana. Tak hanya tembakau,
berhektar-hektar padi juga ada. Tapi jangan bayangkan akan ada gadis berkepang
dua naik sepeda di sana. Gadis-gadis desa sekarang tak kalah modis dengan gadis
kota.
Tetaplah jadi Temanggung Bersenyum. Bersih. Sejuk. Nyaman untuk Masyarakat :)
source: www.temanggungkab.go.id

Pemandangan Sumbing akan terlihat lebih indah saat sore hari, sekitar jam 3 dari Kledung mba ta. . ukiran-ukirannya jelas terlihat indah :-)
BalasHapus