Berdalih menemani Ima menyelesaikan pekerjaannya hari ini, saya ngekor kemana ia pergi.
Dan dua gelas kopi hari ini berhasil jadi tersangka jam segini masih melek. Tidur terlalu larut di suatu malam selalu membawa efek domino pada malam berikutnya.
Tidur malam- bangun pagi- tidur cepat-bangun siang (demi balas dendam, untung libur)- malamnya tidur malam lagi, bahkan tidur pagi.
Kamis malam, mulai pukul 21.30 mulai membantu Ima berkutat dengan segala printilan-printilan nota dan kuitansi yang harus segera dipertanggungjawabkan. Pukul 00.00 mata mulai lelah, tapi tetap memaksakan diri untuk terjaga, mempersilakan si bendahara kanwil ini untuk melepas penatnya sebentar. Lima belas menit kemudian ia telah terjaga kembali.
Giliran saya untuk tidur, dengan niat pukul 01.00 bangun. Tapi apa daya, pukul 02.40 baru benar-benar bangun. Maafkan aku, ima. :(
Kembali berjibaku dengan tetek bengek tadi hingga pagi.
Dan nampaknya, kurang tidur malam ini lah yang menjadi biang mood seharian tidak begitu bagus.
Ditambah dengan rasa kesal sejak malam yang masih terbawa hingga pagi. Dan hingga sore harinya. Dan bahkan hingga kini.
Ternyata nggak semua "nggak suka" saya sampaikan. Hihihi.
Kemarahan, kebencian dan rasa kesal ternyata sangat menguras tenaga. Dan pikiran. :)
Mendamaikan diri dengan orang yang membuatmu kesal dan terlebih mendamaikan diri sendiri kadang tak semudah harapan. Mauku lekas hilang kesal dan marah ini. Tapi apa daya, terlalu ego.
Sepulang kantor di hari Jumat, langsung mengurung diri di kamar. Tak terpengaruh teman-teman yang sedang menikmati tahu bakso dan pempek. Tertidur cepat. Sempat dua kali terbangun di tengah malam, dan sempat-sempatnya ngemil jeruk di kulkas. Tidur lagi. Ketika matahari telah sepenggalah naik, mata baru rela melek dengan sempurna.
Kesalku masih ada.
Tawaran ikut ke kantor lama Ima terlalu sayang untuk dilewatkan, daripada bengong di kosan kan.
Satu gelas kopi tandas mengiringi makan pagi sekaligus makan siang hari ini. Entah demi apa. Tak peduli perut yang pasti mulas setelahnya. Dan benar. :)
Ngelunjak.
Pindah tempat. Kami moving ke kantor lama si bendahara ini yang berada di Jakarta Pusat. Suasana baru.
Sengaja membawa novel dari rumah untuk dibaca.
Dengan membelakangi jendela yang terbuka dari sebuah gedung di lantai sembilan, terdengar bisingnya kendaraan di bawah sana, semilir angin, dan jika sesekali menengok ke bawah, ada taman di tengah kota dan patungnya. Tugu Tani.
Kemudian malamnya makan.
Pelajaran keseeekian kali yang harus selalu diingat: jangan pernah membuka media sosial apa pun ketika makan. :)
Setelahnya mampir di kedai kopi. Ngopi lagi. :)
Sadar tak terlalu suka kopi pahit, saya pesan caramel latte.
Terlanjur basah. Kebodohan yang saya lalukan ketika makan efeknya masih terbawa ketika sudah berpindah ke tempat ngopi yang hits ini.
Ketika gelas-gelas lain mulai kosong, gelas saya masih penuh.
Terlalu asyik menjebakkan diri dalam segala prasangka-prasangka. Dalam segala memori. Dalam segala pembelaan-pembelaan, yang sungguh sangat tidak penting. Dalam segala rasa sesal(?). Dalam segala keinginan untuk melupakan.
Tapi akhirnya habis kok. Hahaha.
Dan masih melek sampai sekarang.
Slipi, 10 Januari 2016.
02.39 WIB
Iya, ini udah duaribuenambelas.
:)