Macet
dimana-mana. Bukan hal yang tidak lazim lagi di jalanan ibu kota, apalagi di
jam-jam keluar kantor. Semrawut. Tapi setidaknya cuaca tak sepanas biasanya,
meskipun sekarang memang sedang musim kemarau. Gerimis satu-satu turun. Tidak
begitu lebat, tapi cukup membuat jalanan aspal basah. Aroma tanah yang khas
juga terhirup.
Built To
Last-nya Melee terdengar mengalun memenuhi mobil Alina. Lagu favorit Alina saat
ini. Menemaninya dalam kemacetan beberapa hari terakhir. Tapi sayang kali ini
ia sama sekali sedang tak menikmatinya. Teringat oleh Alina kalimat Rasmita,
sahabatnya, beberapa jam yang lalu.
“Lo yakin nggak
mau pulang juga hari ini. Please ya Lin, ini udah hari kelima lo nggak pulang
ke rumah. Lo nggak kasian sama nyokap yang nyariin kemana-mana? Cuma gara-gara
masalah itu lo rela bikin keluarga di rumah khawatir?” Rasmita terdengar begitu
emosi hingga napasnya tersengal.
Alina hanya
diam. Mengiyakan dalam hati. Tapi ia juga keras kepala. Kali ini ngambeknya tak
main-main. Seumur hidup baru kali ini ia sampai rela tak pulang ke rumah
berhari-hari. Ia menumpang di apartemen Rasmita.
Alina masih
belum habis pikir kenapa mamanya tak mengizinkannya mengambil kesempatan itu. Sungguh
itu adalah impiannya selama ini. Hatinya sampai saat ini belum bisa memaafkan
mamanya. Macet kian menjadi. Stuck. Gerimis mulai mereda.
***
Tepat enam hari lalu ia
kegirangan membuka email di lantai 19 gedung kantornya. Tak sabar ia bergegas
pulang membawa kabar gembira itu ke mamanya. Tapi yang ia dapati justru sesuatu
yang sama sekali tak ia sangka.
“Mama mohon Lin.
Mama tau ini impian kamu sejak kecil. Iya, sejak papamu mulai memperkenalkan
alat itu kepadamu. Tapi mama sungguh tak ingin jauh darimu. Cuma kamu dan Dania
yang mama punya sekarang. Mama nggak akan sanggup kalau kamu harus pergi jauh. Mama
tau setelah ini kamu akan membenci mama, tapi Lin, tolong... Mama mohon,” suara
mama Alina terdengar parau. Mulai terisak.
Tenggorokan
Alina sungguh terasa perih. Ia bahkan tak mampu menangis. Ia masih belum
percaya atas kalimat yang baru didengarnya barusan. Ya, usahanya untuk
mendapatkan beasiswa belajar piano di Perancis selama ini sia-sia.
***
Alina belum bisa
memutuskan, apakah ia akan pulang ke rumah atau ke tempat yang lain. Matahari dengan sinar
jingganya mulai berparade. Coba ada pelangi, pasti langit Jakarta
akan sedikit lebih berwarna. Macet kali ini benar-benar keterlaluan. Sudah sejak
empat puluh lima menit yang lalu mobil Alina hanya mampu bergerak 10 meter.
“Tok..tok...tok....” tiba-tiba terdengar kaca jendela mobil diketuk. Seraut
muka bocah dengar rambut kusut nampak berdiri di samping mobilnya. “Kak, minta
kaaaak.....,” terdengar suara si bocah setelah Alina membuka kaca. Sejenak ia
tertegun. Anak perempuan itu kira-kira masih berumur 6 tahun. Rambut kusut. Baju
kumal. Dan lihatlah, apa yang ia bawa. Bukan bawa. Ia menggendong seorang bayi.
Alina mengumpat dalam hati, bayi itu pasti belum genap dua bulan.
“Kak, minta kaaak....,”suara anak perempuan tadi kembali menyadarkan
lamunan Alina.
“Eh, eh,” Alina agak tergagap. “Umur kamu berapa dek?” tanyanya kemudian.
“Emm...enam tahun kak,” suara gadis pengemis tadi terdengar lemah namun
agak mendayu. Tepat. Pikir Alina.
“Ini yang digendong siapa?”
“Ini adek aku kak.”
“Ibu kamu?”
“Ibu meninggal saat melahirkan adek.”
Alina menelan ludah. Tapi sesaat kemudian terpikir betapa maraknya
eksploitasi anak dengan menjadikannya pengemis dengan segala remeh temeh cerita
karangan. Atau memang begitu adanya? Sesaat ia mengelus pipi sang bayi tadi.
Terdengar bunyi klakson dari kendaraan yang ada di belakangnya. Buru-buru
Alina mengeluarkan uang lima puluh ribuannya dan segera memberikan ke gadis
kecil tadi.
“Hati-hati yaa kalau menyeberang,” dengan sedikit berteriak ia harap gadis
tadi mendengar pesannya.
Alina mengusap keningnya. Percuma. Hanya maju 2 meter. Tertegun ia. “Ibu
meninggal saat melahirkan adek,” masih terngiang kalimat gadis tadi.
Langit sore kian merekah. Gerimis telah sempurna menyingkir. Awan gelap
juga telah terbawa angin. Alina kini masih tergugu di dalam mobilnya. Di antara
kemacetan yang sungguh menjengahkan. Ia tau harus kemana mengarahkan mobilnya
kini.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar