Jumat, 10 Agustus 2012

Alina: Sepotong Sore


Macet dimana-mana. Bukan hal yang tidak lazim lagi di jalanan ibu kota, apalagi di jam-jam keluar kantor. Semrawut. Tapi setidaknya cuaca tak sepanas biasanya, meskipun sekarang memang sedang musim kemarau. Gerimis satu-satu turun. Tidak begitu lebat, tapi cukup membuat jalanan aspal basah. Aroma tanah yang khas juga terhirup.

Built To Last-nya Melee terdengar mengalun memenuhi mobil Alina. Lagu favorit Alina saat ini. Menemaninya dalam kemacetan beberapa hari terakhir. Tapi sayang kali ini ia sama sekali sedang tak menikmatinya. Teringat oleh Alina kalimat Rasmita, sahabatnya, beberapa jam yang lalu.

“Lo yakin nggak mau pulang juga hari ini. Please ya Lin, ini udah hari kelima lo nggak pulang ke rumah. Lo nggak kasian sama nyokap yang nyariin kemana-mana? Cuma gara-gara masalah itu lo rela bikin keluarga di rumah khawatir?” Rasmita terdengar begitu emosi hingga napasnya tersengal.

Alina hanya diam. Mengiyakan dalam hati. Tapi ia juga keras kepala. Kali ini ngambeknya tak main-main. Seumur hidup baru kali ini ia sampai rela tak pulang ke rumah berhari-hari. Ia menumpang di apartemen Rasmita.

Alina masih belum habis pikir kenapa mamanya tak mengizinkannya mengambil kesempatan itu. Sungguh itu adalah impiannya selama ini. Hatinya sampai saat ini belum bisa memaafkan mamanya. Macet kian menjadi. Stuck. Gerimis mulai mereda.
***

Tepat enam hari lalu ia kegirangan membuka email di lantai 19 gedung kantornya. Tak sabar ia bergegas pulang membawa kabar gembira itu ke mamanya. Tapi yang ia dapati justru sesuatu yang sama sekali tak ia sangka.

“Mama mohon Lin. Mama tau ini impian kamu sejak kecil. Iya, sejak papamu mulai memperkenalkan alat itu kepadamu. Tapi mama sungguh tak ingin jauh darimu. Cuma kamu dan Dania yang mama punya sekarang. Mama nggak akan sanggup kalau kamu harus pergi jauh. Mama tau setelah ini kamu akan membenci mama, tapi Lin, tolong... Mama mohon,” suara mama Alina terdengar parau. Mulai terisak.

Tenggorokan Alina sungguh terasa perih. Ia bahkan tak mampu menangis. Ia masih belum percaya atas kalimat yang baru didengarnya barusan. Ya, usahanya untuk mendapatkan beasiswa belajar piano di Perancis selama ini sia-sia.
***

Alina belum bisa memutuskan, apakah ia akan pulang ke rumah atau ke tempat yang lain. Matahari dengan sinar jingganya mulai berparade. Coba ada pelangi, pasti langit Jakarta akan sedikit lebih berwarna. Macet kali ini benar-benar keterlaluan. Sudah sejak empat puluh lima menit yang lalu mobil Alina hanya mampu bergerak 10 meter.

“Tok..tok...tok....” tiba-tiba terdengar kaca jendela mobil diketuk. Seraut muka bocah dengar rambut kusut nampak berdiri di samping mobilnya. “Kak, minta kaaaak.....,” terdengar suara si bocah setelah Alina membuka kaca. Sejenak ia tertegun. Anak perempuan itu kira-kira masih berumur 6 tahun. Rambut kusut. Baju kumal. Dan lihatlah, apa yang ia bawa. Bukan bawa. Ia menggendong seorang bayi. Alina mengumpat dalam hati, bayi itu pasti belum genap dua bulan.

“Kak, minta kaaak....,”suara anak perempuan tadi kembali menyadarkan lamunan Alina.

“Eh, eh,” Alina agak tergagap. “Umur kamu berapa dek?” tanyanya kemudian.

“Emm...enam tahun kak,” suara gadis pengemis tadi terdengar lemah namun agak mendayu. Tepat. Pikir Alina.

“Ini yang digendong siapa?”

“Ini adek aku kak.”

“Ibu kamu?”

“Ibu meninggal saat melahirkan adek.”

Alina menelan ludah. Tapi sesaat kemudian terpikir betapa maraknya eksploitasi anak dengan menjadikannya pengemis dengan segala remeh temeh cerita karangan. Atau memang begitu adanya? Sesaat ia mengelus pipi sang bayi tadi.

Terdengar bunyi klakson dari kendaraan yang ada di belakangnya. Buru-buru Alina mengeluarkan uang lima puluh ribuannya dan segera memberikan ke gadis kecil tadi.

“Hati-hati yaa kalau menyeberang,” dengan sedikit berteriak ia harap gadis tadi mendengar pesannya.

Alina mengusap keningnya. Percuma. Hanya maju 2 meter. Tertegun ia. “Ibu meninggal saat melahirkan adek,” masih terngiang kalimat gadis tadi.

Langit sore kian merekah. Gerimis telah sempurna menyingkir. Awan gelap juga telah terbawa angin. Alina kini masih tergugu di dalam mobilnya. Di antara kemacetan yang sungguh menjengahkan. Ia tau harus kemana mengarahkan mobilnya kini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar